Tampaknya saya termasuk people from dark ages menurut cartoonstock ini :) |
Saya besar dan tumbuh di Jakarta. Hiruk pikuk kota besar yang
senantiasa diwarnai kemacetan di satu sisi namun dituntut aksi serba cepat di
sisi lain, telah mendarah daging dalam diri saya. Berangkat pagi, pulang malam,
memanfaatkan waktu di tengah kemacetan, ya sudah dinikmati saja. Namun ada satu
trend kehidupan kota besar yang saya
tidak juga terbiasa. Penggunaan kartu kredit.
Penawaran kartu kredit kerap datang ke kantor saya. Dengan
iming-iming diskon di berbagai merchant,
cicilan nol persen, cash back, hingga
bebas biaya seumur hidup, semua disuguhkan di hadapan kami. Untuk beberapa lama
saya tidak tergerak memilikinya. Namun ketika kantor menerima pegawai anak-anak
baru dan mereka mengajukan aplikasi kartu kredit setelah menerima gaji
pertamanya, saya mulai ikut-ikutan.
Tawaran kartu kredit bebas biaya meluluhkan hati saya. “Ah,
apa salahnya, buat pegangan saja jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Lagi pula,
bebas biaya,” demikian pikir saya. Beberapa minggu kemudian kartu itu datang
disertai pemberitahuan untuk mengaktifkan kartu dengan cara menghubungi nomor
telepon yang tertera.
Dasar bukan aktivis pengguna kartu, waktu berlalu dan saya
lupa mengaktifkan kartu tersebut. Sampai datang tagihan yang menyatakan saya
harus membayar biaya tahunan. Merasa telah dibohongi marketing kartu kredit, saya hiraukan saja tagihan tersebut. “Toh
saya tidak pernah mengaktifkannya juga,” begitu batin saya. Namun seorang teman
mengingatkan, sebaiknya tagihan tersebut segera diurus, karena bila tidak, nama
kita bisa masuk dalam black list Bank
Indonesia. Akhirnya dengan berat hati saya menghubungi bank tersebut dan
menyampaikan bahwa saya belum mengaktifkan kartu tersebut serta tidak bersedia
membayar tagihan karena dulu janjinya bebas biaya. Semula customer service menanggapi seolah tidak mau tahu apa yang telah
dijanjikan marketing. Setelah
beberapa saat beradu argumen, akhirnya dia setuju untuk menutup kartu dan menghapus
tagihannya.
Sejak itu saya tidak lagi tergoda untuk mengajukan aplikasi
kartu kredit, sendiri. Ya, tidak sendiri, namun memanfaatkan kartu tambahan
suami saya. “Pokoknya kapok berurusan dengan administrasi kartu kredit! Tapi
kan lumayan bisa gratis di lounge
kalau kebetulan dinas ke luar kota,” kata saya sebelum akhirnya suami merelakan
kartu tambahan untuk saya. Padahal frekuensi kepergian saya ke luar kota sangat
jarang.
Ketika tiba-tiba ditugaskan dinas ke luar negeri untuk
menghadiri suatu seminar, barulah saya bersyukur kartu kredit ini bisa juga
dimanfaatkan. Pemesanan hotel saya lakukan melalui situs perjalanan yang banyak
menawarkan hotel dengan harga diskon. Setelah membaca berulang-ulang segala
ketentuan, akhirnya saya memasukkan pemesanan dengan pembayaran menggunakan
kartu kredit. Itu pun sambil deg-degkan,
mengingat banyak sekali penipuan menggunakan kartu kredit.
Penerbangan dijadwalkan pada hari Minggu siang. Pagi harinya,
muncul pemberitahuan pada email suami saya bahwa kartu kreditnya telah
menyetujui transaksi pemesanan hotel yang berlokasi di Manila, kota yang akan
saya tuju siang itu. Celakanya, nama hotelnya tidak sama! Khawatir kartu telah
dibajak, suami segera menghubungi customer
service bank yang menjadi provider kartu itu. Namun mereka tidak memberikan
penjelasan yang memuaskan. Akhirnya dengan jengkel suami saya minta agar kartu
tersebut diblokir. Sambil berusaha tersenyum dia memandang ke saya dan berkata,
“Berarti Mama harus bawa uang kas yang cukup untuk jaga-jaga pembayaran hotel
di sana.”
Terpaksa saya menukarkan lebih banyak rupiah di bandara.
Malamnya, tibalah saya di hotel. Tidak lupa saya mengonfirmasikan email pagi
itu pada petugas. Dengan ramahnya dia berkata, “Oh tidak usah khawatir, ini
hanya notifikasi saja kok, belum ada transaksi apa-apa. Kami baru akan
mengenakan biaya setelah Anda tiba di sini.” Dengan perasaan masih campur aduk,
saya balik bertanya mengapa nama hotelnya berbeda. “Ah yaa, itu memang nama
grup tempat hotel ini bernaung,” jawab si petugas. Dengan lemas saya akhirnya
berkata, bahwa notifikasi itu membuat saya curiga sehingga kartu diblokir
sementara. Saya menghabiskan dua hari berikutnya di Manila dengan sisa kas yang
ada di dompet.
Selanjutnya saya kapok berurusan dengan kartu kredit! “Hidup
saya akan baik-baik saja tanpanya,” pikir saya. Toh saya berhasil bertahan di
Manila dengan kas terbatas tanpa dana cadangan. Ya, saat itu memang saya
beruntung berjumpa teman dari kantor lama yang juga ditugaskan menghadiri
seminar tersebut. Makan malam dan taksi menuju bandara terselamatkan dengan
kehadirannya.
Tidak disangka pengalaman berikutnya menggoyahkan tekad saya
untuk tidak lagi berurusan dengan kartu kredit.
Menemani ibu saya di rumah
sakit dengan serangkaian tindakan medis yang harus dilakukan, memaksa saya
berpikir ulang mengenai kegunaan kartu kredit. Ibu saya bukan peserta asuransi
kesehatan, sehingga kami diharuskan menyetorkan sejumlah deposit terlebih
dahulu. Untuk malam pertama, dana di rekening tabungan saya masih cukup untuk
deposit awal. Namun di hari kedua ketika dokter merekomendasikan tindakan
medis, saya mulai panik. Ya, panik, karena ternyata biaya yang dibutuhkan
belasan juta rupiah, jumlah yang tidak mungkin ada di rekening tabungan saya
saat itu. Sementara saya masih bingung di depan petugas administrasi, suster
sudah bolak-balik menelpon menunggu keputusan saya. Setelah berkali-kali gagal
menghubungi suami yang sedang berada di kantor, saya bernapas lega ketika
akhirnya dia menjawab telepon saya. Saya minta agar segera dikirimkan uang saat
itu, entah dari mana asalnya. Diam-diam saya berkata pada diri, di saat seperti
inilah manfaat kartu kredit sangat terasa.
Pemeriksaan medis menunjukkan hasil yang tidak seburuk kekhawatiran
saya. Syukurlah. Ibu saya dapat pulang pada hari ketiga, disertai uraian
nasihat dokter, saran aktivitas dan makanan yang harus dijaga.
Ketika menceritakan kepanian saya saat harus menyetor deposit rumah sakit kepada seorang teman, dengan manisnya ia berkata, "Kan kamu bisa telpon aku, Dek. Kalau itu pasti bisa diusahakan, lah." Pikiran nakal terlintas dalam benak dan saya langsung tersenyum lebar. Benar juga, siapa yang membutuhkan kartu kredit jika memiliki banyak teman yang pengertian?
Ini salah satu artikel Gado-Gado yang saya kirimkan ke Femina pada tahun 2014 lalu dan tidak dimuat. Setiap membaca ini saya tersenyum-senyum sendiri membayangkan kepanikan saya. Alhamdulillah Mama masih dikaruniai kesehatan sampai sekarang, semoga Allah SWT terus menjaganya.Oya, saya belum lagi memiliki kartu kredit hingga saat ini :)
aaah samaan, setelah menikah sudah gak pegang kartu kredit maupun debit...kecuali satu kartu belanja khusus yang diskon langsung 1% setiap belanja dan diskon 5% setiap tanggal tertentu.
BalasHapusUntung baca catatan terakhir, kirain mama masih sakit. Sehat2 selalu ya