Menjejak Bumi di tengah Kemegahan Dubai


Dubai City View
Udara panas dan lembab seketika menyergap ketika saya keluar dari Terminal 3 Dubai International Airport. Panas di Dubai membuat sulit bernapas. Udara yang terhirup terasa berat memasuki indera penciuman, membuat saya termegap-megap beberapa saat.

Dubai merupakan satu dari tujuh emirates yang membentuk negara Uni Emirates Arab (UAE). Ibu kota UAE sendiri adalah Abu Dhabi. Walau terletak di wilayah Timur Tengah yang identik dengan peradaban Islam, gaya hidup di Dubai tidak berbeda jauh dengan gaya hidup kota besar di belahan bumi bagian barat sana. Namun segala pesona Dubai tidak menyurutkan penganut Islam taat untuk tinggal. Seorang berkebangsaan Pakistan yang saya kenal dan cukup taat sebagai Muslim mengatakan bahwa ia lebih suka tinggal di Dubai dengan keberagamannya dibandingkan di Saudi Arabia dimana syariat Islam ketat diberlakukan. Baginya ketaatan tersebut terasa semu karena seolah-olah penduduknya patuh karena takut terhadap aturan Pemerintah. Di Dubai, ia dan keluarganya taat karena pilihan mereka.

Siang itu Ferdinand yang berkebangsaan Filipina menjadi pengemudi saya. Ferdinand telah sepuluh tahun bekerja di Dubai. Dia tidak mengajak serta keluarganya tinggal di Dubai, “The cost of living here is too expensive. But I’m good, you know what I mean, I live straight,” katanya berusaha menjelaskan. Sepanjang jalan Ferdinand menunjukkan berbagai bangunan yang sedang dalam proses konstruksi. “That’s a new bulding, you know, less than one year old. But they demolished the building and now they build something new, I don’t know what,” katanya ketika menggambarkan Pemerintah UAE membangun dan membongkar gedung seperti anak kecil bermain lego yang cepat bosan.

House of Prose, Jumeirah Plaza, Dubai
Setelah menaruh barang di penginapan, saya meminta Ferdinand mengantar saya ke Jumeirah Plaza, sebuah pertokoan kecil dan sederhana. Sama sekali tidak mencerminkan kemewahan wilayah Jumeirah beach yang dikenal sebagai lokasi hotel berbintang dan shopping mall megah. Namun bagi saya ada yang istimewa di sana, yaitu toko buku House of Prose yang menjual dan menerima buku-buku bacaan bekas.

House of Prose berlokasi agak tersembunyi di bagian belakang Plaza. Penampakannya antik dengan pintu kayu dan kaca etalase besar berbingkai kayu. Rak kayu tinggi disesaki buku berbagai genre. Di tengah hingar bingar kisah kemewahan gaya hidup di Dubai, wangi buku-buku tersebut membuat saya merasakan kembali menjejak bumi. Teman sebangsa Ferdinand melayani saya dengan sapa dan senyumnya yang ramah. Bangsa Filipina memang terkenal unggul di sektor jasa. 

Dome Cafe, Jumeirah Plaza, Dubai
Sore itu, berbekal buku dari House of Prose, saya menyeruput secangkir cappuccino di café asal Australia. Dome Café terletak di bagian tengah Jumeirah Plaza. Seorang berwajah Asia dan bermata sipit mengantarkan chocolate cake pesanan saya. Bell boy di hotel tempat saya menginap tadi rupanya orang Indonesia. Satpam plaza ini memiliki aksen India. Tidak jauh, seorang anak perempuan berambut pirang berlari-lari. Ibunya mengenakan tanktop dan celana khaki tampak mengikuti di belakangnya. Setelah diingat-ingat, sejauh ini orang Arab yang saya temui hanya petugas imigrasi di bandara siang tadi. Wajah tampannya membuat saya tidak berkedip beberapa saat.

Pembangunan properti yang unik dan megah di Dubai menarik pekerja dan wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Entah apa sesungguhnya cita rasa lokal di Dubai? Untuk sementara, satu sore yang indah di toko buku antik cukup mengobati rasa penasaran saya. 

Tulisan ini saya sertakan dalam lomba Travelmate National Geographic yang berhadiah perjalanan ke Australia Barat selama seminggu. Tidak lolos, namun saya menyadari kelemahan artikel ini, karena memang kurang pas dengan tema yang diusung National Geographic, rekan perjalanan dan wisata alam.

2 komentar:

  1. petugas imigrasi yang ganteng...aaah! Keren ya Dubai. Suami ke Dubai yang dituju toko rempah-rempah, beli saffran yang murah meriah, secara di Tokyo mahal banget, lebih mahal dari harga emas katanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi, aku malah ga belanja belinji, i, perasaan mah mahal aja.. kalo punya waktu lebih prefer ke pasar-pasar tradisional aja yg utk orang lokal drpd ke pasar utk turis :D

      Hapus