“O iya… lupa… Eyang besok ulang tahun! Duh, kita kasih apa
dong, Dek, ke Eyang?”, Fathia (10 tahun) berseru ketika malam itu saya ingatkan
bahwa Eyang Kangkungnya berulang tahun keeseokan harinya. Aqeela (5 tahun)
membelalakkan mata bulatnya dan spontan menjawab, “Oh, aku tau! Aku mau ngaji!
Eyang senang kalau aku ngaji!”
Putri-putri kami terutama Aqeela, sangat dekat dengan kedua
orang tua saya. Saya memang mengandalkan dukungan kedua orang tua setelah cuti
bersalin habis waktu melahirkan Aqeela. Bapak saya, yang dipanggil cucu-cucunya
dengan sebutan Eyang, memiliki karakter yang keras dan tegas. Namun hal
tersebut tidak menimbulkan jarak antara beliau dengan cucunya. Aqeela sangat
dekat dengan eyangnya yang rajin mengajarkannya membaca huruf latin dan iqro’.
Ibu saya, yang dipanggil Nenek, juga tegas, terutama dalam urusan asupan
makanan yang bergizi untuk cucunya. Kedekatan Aqeela dengan Nenek dan Eyangnya
membuatnya sangat mengenal apa yang menjadi kebahagiaan mereka berdua. Seperti
yang terjadi hari itu ketika kami hampir lupa dengan ulang tahun Eyang.
Komitmen saya dan suami di kantor masing-masing membuat kami
harus pintar-pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Kami sangat
beruntung karena kedua orang tua saya di usianya yang senja, bersedia
direpotkan lagi dengan urusan pengasuhan cucu. Secara umum Fathia dan Aqeela
bukan anak yang menyusahkan, walaupun dalam beberapa kesempatan juga membuat
pusing Nenak dan Eyangnya. Fathia yang beranjak remaja masih sering bertengkar
dengan adiknya dan sangat sulit diberi pengertian. Aqeela tampak tidak berminat
sama sekali dalam hal-hal akademis dan sering mencari-cari alasan jika diajak
membaca, mengaji atau menulis. Oleh karena itu hal-hal sederhana seperti
rukunnya kedua kakak beradik itu, Fathia yang tersenyum manis menuruti nasehat
Neneknya, atau Aqeela yang bersemangat menyambut ajakan Eyang untuk mengaji,
telah cukup membuat kedua orang tua saya bahagia.
Menyadari kerepotan yang kami timbulkan, saya berupaya
menebusnya dengan menyediakan waktu di akhir minggu. Seminimal mungkin
mengganggu waktu istirahat kedua orang tua saya atau bila diperlukan, mengantar
mereka beraktivitas seperti belanja keperluan rumah maupun menghadiri undangan.
Anak-anak pun sudah merasa terikat dengan Nenek dan Eyang. Makan di luar atau
liburan keluarga terasa sepi tanpa mereka. Tentu itu semua tidak seberapa
karena jasa dan pengorbanan mereka tidak akan mampu saya membayarnya.
Bila saya mendengar cerita beberapa teman membelikan ibunya
tas mahal keluaran terbaru, memberikan ayahnya jam tangan merk ternama, atau menghadiahkan
orang tuanya jalan-jalan ke luar negeri, diam-diam saya bersyukur orang tua
saya bukan tipe yang senang dengan hadiah berupa materi duniawi. Mereka lebih
tertarik dengan kegiatan ibadah yang membawa mereka lebih dekat dengan Sang Maha Pencipta. Mereka lebih berminat terlibat dalam kegiatan bernuansa islami penuh
hikmah dibandingkan kegiatan penuh hura-hura namun hampa. Di usia yang senja,
beberapa kawan Ibu saya kerap mengadakan acara kumpul-kumpul maupun piknik
bersama. Pernah saya mendorongnya untuk ikut demi memberikan waktu untuk beliau
keluar dari rutinitas. Ada saja alasannya. “Nanti siapa yang mengurus Eyang?”
demikian tanyanya. Ketika saya mengatakan tidak perlu khawatir tentang itu,
beliau berdalih, “Minta izin dulu.” Ketika izin sudah diberikan, “Ah, Nenek
pusing, nanti kalau sakit di jalan merepotkan.” Saya khawatir mereka merasa
terbebani oleh kami. Betapa ingin saya melihat mereka bahagia.
Selama beberapa tahun terakhir ini kedua orang tua saya
memiliki rutinitas yang hanya mereka lakukan berdua. Di sepuluh hari terakhir
Ramadhan, mereka akan pergi ke Masjid Daarut Tauhid di Bandung untuk melakukan
itikaf. Laiknya orang tua, ada saja kekhawatiran mereka meninggalkan cucunya.
Dan walaupun sempat ragu bagaimana mengurus anak-anak sementara kami ke kantor,
kami tetap mendukung kepergian mereka dengan bermacam pesan untuk menjaga
kesehatan, terutama kepada Ibu saya.
Setiap bertemu di akhir Ramadhan setelah itikaf, tampak wajah
lelah mereka, terutama Ibu saya. Kondisi kesehatannya yang rentan merasa pusing
dan masuk angin kerap membuat kami khawatir. Namun mendengar pengalaman yang
dituturkannya dengan bersemangat tak urung membuat hati saya tenang. Bangun
pukul 2.00 dini hari untuk mendirikan Qiyamul Lail dilanjutkan dengan sahur,
sholat dan kajian Subuh. Bertemu teman-teman baru yang seiring waktu menjadi
kawan itikaf rutin setiap tahun. Ilmu baru yang didapat. Kepuasan batin yang
diperoleh. Selagi dikaruniai kesehatan di usia yang tidak lagi muda, mereka masih
dapat melakukan ibadah berupaya meraih malam Lailatul Qadr. Saya pikir di
situlah letak kebahagiaan mereka.
Dan kini, menjelang berakhirnya Ramadhan, sementara kami
orang tuanya tercenung menyadari betapa cepat bulan penuh berkah ini berakhir,
putri-putri kami sangat bersemangat menyambut hari esok. Tidak lain karena
besok mereka akan bertemu Nenek dan Eyang di Bandung dan berlebaran di sana. Dari
suara mereka di telepon, saya pun dapat merasakan kebahagiaan orang tua saya
mendengar keputusan kami untuk berlebaran di Bandung. Sudah lama kami tidak
berlebaran di sana padahal beberapa saudara Ayah dan Ibu saya selalu berkumpul
di sana setiap Hari Raya.
Orang
tua memiliki hati seluas samudra untuk mencintai anaknya dan mereka akan melakukan
apa saja untuk mendukung kita. Sementara kita, disibukkan dengan kehidupan,
sering melupakan makna cinta dan kebahagiaan sesungguhnya. Anak-anak, menyentuh
hati kita dengan kepolosan dan kesederhanaan mereka. Kebahagiaan yang
sederhana. Semata-mata karena cinta. Betapa saya banyak memperoleh makna
kehidupan dari kedua orang tua saya dan anak-anak kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar