Lima Kiat agar Anak Cinta Buku

Salah satu agenda wajib kedua putri saya jika ikut ke kantor adalah mengunjungi perpustakaan. Kantor tempat saya bekerja memiliki ruang perpustakaan yang nyaman dan koleksi buku beragam. Walaupun di kantor, namun variasi bukunya kerap menggoda iman. Dari buku manajemen kebijakan publik hingga kiat berwirausaha, dari buku sistem informasi manajemen hingga ensiklopedia, dari buku teori akuntansi dan pengelolaan utang hingga buku anak.
 
Perpustakaan kantor 
yang nyaman membuat betah
Pada hari terakhir kerja di bulan puasa tahun lalu, kedua putri kami ikut ke kantor karena tidak ada yang menemani di rumah. Ketika menuju perpustakaan yang terletak di gedung lain, kami bertemu teman saya yang spontan bertanya, “Pada mau kemana?”. Dengan ringan saya menjawab bahwa kami menuju perpustakaan. Memang tidak banyak pegawai yang menyadari keistimewaan perpustakaan kantor kami. Untuk itu saya kerap menjadikannya tempat ‘persembunyian’. 

Responnya membuat saya tersenyum, “Kenapa gak ke mal aja?”. Bukannya saya orang tua yang sok antimainstream, tetapi mal tidak menjadi pilihan kami karena saat itu bulan puasa. Selain itu anak-anak saya sudah cukup besar sehingga saya tidak khawatir kunjungan mereka ke perpustakaan kantor akan mengganggu ketertiban.

Akhirnya dapat Harry Potter!
Namun tak urung reaksi teman saya itu sempat mengusik pikiran saya. Saya jadi punya keyakinan betapa besar peran orang tua menanamkan kebiasaan baik, maupun buruk, pada anak. Seperti dugaan saya, kedua putri saya sangat menikmati kunjungan mereka. Fathia putri sulung saya bahkan meminjam serial Harry Potter dalam bahasa Indonesia, buku yang sangat ingin dibacanya sejak ia membaca tiga serial pertama yang saya miliki di rumah. Kebetulan sejak seri keempat saya memutuskan untuk membeli edisi aslinya saja.   
Selama ini saya berusaha agar mereka menikmati buku dalam kesehariannya. Upaya saya tidak muluk-muluk sih, hanya seperti ini saja:
1. No Sophisticated Gadget.
Ini juga kebetulan saya yang cenderung gaptek dan old fashioned. Ditambah pula ukuran kantong yang tidak cukup dalam. Kami tidak memiliki gadget canggih di rumah. Pada satu titik dimana anak-anak minta tablet, suami membelikan perangkat tersebut yang harganya bersahabat. Tentu saja efeknya, layar sentuhnya menjadi kurang sensitif. Jika pun anak-anak bermain game di tablet tersebut, keasikan mereka berkurang, sehingga mereka cepat bosan.
2. Rumah Buku.
Amunisi berkreasi
Perabot rumah saya hanya lemari-lemari buatan bapak saya yang isinya buku. Jumlah koleksi buku saya bersaing dengan buku Fathia dan Aqeela. Koleksi mereka tidak hanya buku bacaan, tapi juga buku aktivitas. Saya juga menyediakan kertas-kertas kosong di rumah untuk Aqeela yang sedang bersemangat menggambar apa saja. Kadang saya bawa kertas bekas print out dari kantor. Dia masih dapat memanfaatkan halaman kosong di baliknya. Krayon, spidol, cat air, cat poster, lem, gunting, semua tersedia untuk mereka berkreasi.  

3. Bekal Buku.
Sibuk dengan bekal
Liburan awal tahun yang lalu Fathia meminta izin pada saya untuk membawa tablet. Saya melarangnya karena rencana perjalanan kami adalah mengunjungi Mbah Uti dan sepupu-sepupunya serta berwisata alam. Saya minta dia dan adiknya untuk membawa beberapa buku bacaan serta buku dan alat tulis untuk corat-coret.
Saya bersyukur itu keputusan yang tepat. Mereka puas bermain dengan para sepupu, lelah beraktivitas di alam, dan cukup beristirahat tanpa sentuhan gadget. Waktu terisi dengan optimal. Dalam perjalanan pulang, saya dan Fathia sudah kelelahan dan kami menyibukkan diri dengan bacaan masing-masing.  
4. Oleh-oleh Buku.
Kebiasaan ini dimulai sejak saya bekerja selepas lulus kuliah diploma. Sederhana saja, karena sejak itu saya sudah punya penghasilan sendiri. Selain itu, tempat saya melanjutkan kuliah di Depok ternyata merupakan surga untuk buku-buku murah dan berkualitas. Dari sana, ketika sering ditugaskan ke luar kota, toko buku selalu menarik perhatian saya. Rasanya kurang lengkap bepergian tanpa membawa pulang sebuah buku. Selanjutnya, dengan kehadiran anak-anak, ketertarikan saya juga tertuju pada buku anak-anak. Jika tidak sempat membeli oleh-oleh khas daerah yang dikunjungi, oleh-oleh buku sudah cukup menghibur.
5. Buku itu ISTIMEWA.
We will never go wrong with a book!
Di lingkungan keluarga kami sudah ditumbuhkan budaya bahwa buku itu istimewa. Buku itu hadiah yang tidak pernah salah. Kado ulang tahun didominasi dengan hadiah buku. 

Buku itu hasil karya dan pencapaian. Adik saya seorang editor, dia kerap membawa buku-buku hasil kerjanya yang sudah diterbitkan. Dia juga menulis dan menyusun buku anak. Bukti hasil terbit yang dikirimkan ke rumah membuat bangga anak-anak saya karena tidak jarang adik saya menggunakan nama mereka dalam karyanya. 
Akhir-akhir ini ketika saya sedang rajin mengirim resensi buku, apresiasi buku dari penerbit jika resensi saya dimuat sungguh membahagiakan. Kebahagiaan itu yang saya tularkan kepada anak-anak sehingga mereka dapat merasakan sensasinya. 
 
Buku itu harta berharga. Bapak saya masih menyimpan koleksi buku saya waktu kecil dulu. Koleksi tersebut beragam dari mulai buku karya Enid Blyton dan Astrid Lindgren, hingga buku-buku bekas yang kami beli dari Taman Puring di tahun 1980-an. Koleksi tersebut bagai warisan berharga yang dengan bangga saya turunkan kepada Fathia.

Kegiatan-kegiatan di atas lebih merupakan kebiasaan baik yang saya coba tularkan kepada keluarga kecil kami. Kebetulan sekali lingkungan mendukung – seperti isi kantong yang kurang dalam sehingga kami tidak mampu beli gadget canggih. Maka buku menjadi pelampiasan. Saya sadar upaya tersebut sebenarnya bisa dioptimalkan lagi bahkan ditularkan ke luar keluarga kami. Hmm, siapa tau itu bisa menjadi proyek saya dan anak-anak di masa depan!  



Artikel ini berhasil meraih reward. Hadiahnya, more books!
First published 18/1/2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar