Belajar Ekonomi Islam dari Malaysia, Kenapa Tidak?

Bagaimana memicu pertumbuhan ekonomi Islam di Indonesia menurut sudut pandang praktisi dari negara lain? Demikian pokok bahasan diskusi panel di sesi keempat dalam Islamic Finance News (IFN) Forum yang diselenggarakan di Shangrila Hotel, Jakarta, 15 April 2014. Menampilkan para anggota panel dari Malaysia, Timur Tengah, dan Eropa, topik diskusi tersebut dimaksudkan untuk memancing pendapat mereka terhadap gerak pertumbuhan ekonomi Islam di Indonesia, dan saran apa yang dapat mereka berikan untuk Indonesia. Kehadiran Pak Anggito Abimanyu dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Pelaksanaan Haji dan Umroh, Kementerian Agama pun diharapkan dapat memperkaya diskusi tersebut. Sebenarnya pada IFN Forum kali ini beliau telah dijadwalkan di sesi pertama untuk memberikan pandangannya terkait upaya mempromosikan ekonomi Islam di Indonesia sebagai agenda nasional. Namun kesibukan beliau pada hari itu membuat dirinya tidak dapat menghadiri sesi tersebut sebagaimana telah dijadwalkan.

Dari diskusi yang berlangsung pada sesi keempat ini, para anggota panel banyak membandingkan Indonesia dengan Malaysia dalam hal pertumbuhan ekonomi Islam. Secara kasat mata memang terlihat perbedaan signifikan antara kedua negara tersebut. Bila dilihat dari sisi volume Sukuk domestik yang diterbitkan, walaupun berada di peringkat kedua, tapi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Malaysia.

Walau demikian, Indonesia di mata para investor asing masih dan akan terus menjadi pasar yang sangat potensial. Mengapa orang datang ke Indonesia? Karena di Indonesia kita dapat melakukan apa saja. Pasarnya tersedia luas dan bebas untuk kita eksplorasi. Dari retail banking, corporate banking, infrastructure, takaful, hingga micro finance. Demikian menurut Dr. Aznan Hasan, Presiden dari Association of Shariah Advisors in Islamic Finance, Malaysia.

Namun, kurang kuatnya kerangka hukum menjadi sesuatu yang banyak disayangkan para pelaku pasar dalam memandang pasar keuangan Islam di Indonesia. Padahal para pelaku pasar membutuhkan certainty, predictability, consistency, dan stability. Tidak hanya terhadap praktek pasar keuangan itu sendiri, namun terlebih terhadap kerangka hukum yang mengatur pasar dan pelakunya tersebut. Rumitnya birokrasi dan kurang terbukanya pasar Indonesia terhadap pemain asing juga menjadi sesuatu yang dikeluhkan menurut pendapat Ritjana Ceveli, Managing Director dari Asset Management and Advisory, UEA.

Rupanya kehadiran Pak Anggito dalam sesi ini menjadi bless in disguise. Dengan pernyataan para anggota panel yang makin terkesan menyudutkan Indonesia, Pak Anggito menyampaikan ‘pembelaan’nya, walaupun tidak dalam kapasitas beliau saat ini. Yang juga tidak kalah menarik adalah ‘pembelaan’ dari salah satu peserta. Menurutnya pasar keuangan Malaysia memang besar. Namun hanya dari sisi kuantitas. Dari sisi kualitas, Indonesia lebih baik. Malaysia hanya berusaha menduplikasi pasar keuangan konvensional dan cenderung mengabaikan kaidah-kaidah syariah yang berlaku umum. Sebagaimana kita ketahui beberapa Sukuk Malaysia tidak diterima di luar pasar Malaysia karena struktur akadnya yang tidak sesuai syariah, menurut pendapat ulama Timur Tengah. Selain itu, dari sisi kemudahan berinvestasi, Indonesia lebih terbuka terhadap investor asing. Terlihat dari regulasi yang cukup jelas dan aplikatif untuk operasional bank asing di negara ini. Lain halnya di Malaysia. Bukan rahasia umum lagi betapa sulitnya bank nasional kita untuk beroperasi di negara jiran tersebut.

Terlepas dari ‘pembelaan’ tersebut, sesi kali ini tetap layak untuk dijadikan pembelajaran. Ya, Indonesia memang tidak dapat diremehkan kontribusinya dalam pasar keuangan Islam. Capaian dari sisi kuantitatif maupun kualitatif telah menunjukkan komitmen Indonesia di pasar ini. Semakin bertambahnya jumlah perbankan syariah dan unit usaha syariah, pertumbuhan aset institusi keuangan Islam, meningkatnya volume penerbitan Sukuk Negara, juga pemberlakuan aturan yang lebih berpihak pada penerbit Sukuk. Tapi apakah cukup sampai di situ? Mengapa tidak kita gandakan lagi keunggulan yang sudah kita miliki?

Sudah banyak yang menyuarakan saatnya pertumbuhan ekonomi Islam di Indonesia didorong oleh government driven, tidak lagi oleh market driven. Untuk pasar yang baru berkembang, dukungan dari Pemerintah termasuk pemberian insentif bagi para pelaku pasar sangat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pasar tersebut. Dari aspek tersebut dapat lah kita belajar dari Malaysia. Koordinasi yang erat berbagai unit terkait, baik pemerintahan, dewan syariah, maupun para pelaku pasar di Malaysia, menjadi faktor yang mempengaruhi cepatnya pertumbuhan ekonomi Islam di Malaysia. Memang ada biaya yang dikorbankan. Dan keuntungan yang diharapkan bahkan sulit diukur dalam nilai finansial. Namun dengan visi dan road map yang jelas dan terukur, secara bertahap mereka makin dekat mewujudkannya.

Kini negara tetangga tersebut sudah berani mengajukan rancangan Malaysia sebagai destinasi pariwisata halal dengan pembiayaan dari Sukuk. Menjadikan Malaysia makin dekat dengan ambisinya sebagai regional Islamic hub financial market. Menunjukkan peran Sukuk - instrumen keuangan berbasis syariah, yang makin membumi untuk mendukung berbagai aspek pertumbuhan ekonomi suatu negara. Lalu, sudah sampai dimana Indonesia?

Gambar diambil dari sini.
First published 17/4/2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar