![]() |
@TempoInstitute |
Demikian menurut
Amarzan Loebis, wartawan senior Tempo dalam sesi workshop menulis jurnalistik tingkat dasar yang saya ikuti dengan beberapa rekan kerja 25 – 27 Mei 2016. Prinsip menulis yang banyak saya
pelajari dari berbagai sumber, kali ini saya dengar langsung
dari seorang profesional yang telah bertahun-tahun menggeluti bidang ini.
Mengawali
bahasannya dari diksi, Amarzan bertanya apakah menurut kami Bahasa Indonesia
itu kurang kaya, cukup kaya, atau sangat kaya. Beberapa teman mengatakan cukup
kaya, beberapa lainnya berpendapat sangat kaya. Apa buktinya, tanya Amarzan
lebih lanjut. Yang bilang cukup kaya mengatakan bahwa bahasa daerah asalnya,
Jawa Timur, memiliki ungkapan-ungkapan yang tidak dimiliki oleh Bahasa
Indonesia hanya untuk mendeskripsikan suatu kondisi dalam satu kata. Misalnya,
di Jawa Timur ada ungkapan kebeteng
untuk mendeskripsikan kondisi ketika kita tidak bisa kemana-mana karena
terjebak hujan. Sedangkan yang berpendapat sangat kaya berargumen bahwa Bahasa
Indonesia sangat terbuka dan terus berkembang, terlihat dari banyaknya serapan
dari bahasa asing maupun bahasa daerah.
Dari
pertanyaan itu dia berusaha menyampaikan bahwa tidak perlu khawatir dalam
berbahasa. Jangan jadikan kamus sebagai kitab suci. Pada kenyataannya,
penggunaan suatu istilah bisa jadi populer terlebih dahulu digunakan
masyarakat, baru dimasukkan dalam kamus. Tempo memiliki pengalaman dalam hal
ini. Ketika Rhoma Irama pertama muncul di blantika musik Indonesia pada awal
tahun 1970-an, jurnalis kesulitan mendeskripsikan musiknya yang didominasi
permainan gendang. Saat itu Tempo menyebutnya sebagai
campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan dang-ding-dut India. Selanjutnya
sebutan ini disingkat menjadi dangdut saja. Dan kata tersebut digunakan hingga
saat ini.
Terkait
dengan penggunaan bahasa, Amarzan sangat menekankan pentingnya menggunakan
bahasa sederhana dan mudah dipahami oleh target pembaca. Diksi, memiliki tugas
utama mencari kata yang tepat untuk makna yang tepat. Dari sisi kosa kata,
mati, meninggal, wafat, tewas, gugur, memiliki arti yang sama. Namun dari sisi
makna, penggunaan kata-kata tersebut harus disesuaikan dengan intensi yang
ingin diungkapkan. Kata nyaris dan hampir memiliki arti yang sama. Namun kata
nyaris cenderung digunakan untuk kalimat yang bermakna negatif saja. Misalnya
nyaris terserempet, nyaris celaka, nyaris mati. Kata yang tepat, untuk makna
yang tepat.
Penggunaan
kalimat efektif sangat penting. Pendek, jernih (tidak bermakna ganda),
(biasanya) aktif, dan dibaca dalam satu tarikan nafas. Di sini Amarzan
memberikan kritik langsung pada berita di website kami, yang kebetulan contoh
berita yang dipilih adalah hasil kerja tim saya. Ada beberapa penggunaan kata
yang tidak perlu. Ada pula pilihan kata yang menunjukkan ketidakpedean saya
sebagai penulis berita. Tentang pemilihan judul, beliau tidak menemukan celah
untuk dikritik karena memang sudah sesuai dengan karakter kami sebagai
institusi Pemerintah. Secara umum dia menilai tulisan tersebut cukup lumayan
untuk level jurnalis muda Tempo. Krik krik krik. Sayangnya saya sudah tua.
Penasaran tulisan mana yang mendapat kehormatan untuk dikritik langsung oleh
seorang wartawan senior Tempo, silahkan berkunjung ke sini.
Amarzan
menyampaikan paparannya dengan intonasi yang tenang dan tekanan-tekanan pada
beberapa hal yang dia anggap penting. Just
like music in my ear. Pilihan katanya tertata rapi, terkesan tidak
sembarang memilih ungkapan yang diucapkan. Sikapnya tenang, namun semangat
literasinya sampai ke penyimak. Dengan pengalaman dan perjalanan hidupnya yang luar
biasa, bertemu, berteman dengan tokoh-tokoh legendaris, tidak timbul kesan
sombong dalam nada bicaranya. Pada usianya yang senja, dia tak berhenti
bergerak menghampiri peserta workshop
yang duduk melingkar.
Di akhir
sesinya, Amarzan memberikan tipsnya dalam menulis. Menurutnya tidak ada tulisan
yang sekali jadi. Tapi menulis saja. Lupakan teori saat menulis. Setelah
menulis, tinggalkan untuk rehat sejenak. Kembali lagi dan lakukan self editing. Tidak ada produk tulisan
yang sempurna. Tulisan-tulisan di Tempo sendiri melalui beberapa tahap editing hingga ahli bahasa sampai akhirnya naik
cetak. Itu pun ada saja ditemukan kesalahan saat dilakukan evaluasi. Namun,
tetaplah, menulis saja.
Cerita lainnya tentang berguru pada Public Relations Grup Tempo, di sini.
Cerita lainnya tentang berguru pada Public Relations Grup Tempo, di sini.
Baguuus
BalasHapusMakasih Mbak Nur, suatu kehormatan :)
HapusKadang-kadang terjebak di pemakaian kalimat efektif -_-
BalasHapusMakasih sharingnya, Mbak :)
Mbak Dy The Kitchen Hero, makasihhh, semoga suatu saat saya bisa ngopi dan menuliskannya :p
HapusMencerahkan mbak Dini. Terima kasih.
BalasHapusMbak Yu Ut, matur nuwunnn, semoga kelak saya bisa masuk kelas lagi...
Hapuskadang saya masih suka bertele-tele dalam penulisan, supaya ada alurnya. Apakah itu termasuk kalimat tidak efektif mbak?
BalasHapusBeda antara mencoba menguraikan alur dengan kalimat tidak efektif, Mel.
HapusContoh yg paling sering adalah penggunaan kata untuk dan dapat serta kata yang berulang digunakan dalam satu kalimat :D